![]() |
Kampus Da'wah STID Mohammad Natsir |
Temajuk News | Agustinah merupakan salah seorang dari 12 anak Sambas yang ditugaskan berda’wah di
daerah masing-masing tepatnya di Kecamatan Semparuk. Lebih khusus lagi Penulis melaksanakan tugas da’wah di kampung
halaman sendiri yaitu Dusun Sepinggan Gelik Kecamatan Semparuk Kabupaten
Sambas. Dusun Sepinggan Gelik adalah salah satu dari empat dusun yang ada di Desa Sepinggan dan merupakan daerah yang dekat dengan kota kecamatan.
Pembangunan di daerah Kecamatan Semparuk sudah mulai ada, berbagai fasilitas juga
mudah diperoleh seperti listri, transportasi, fasilitas komunikasi seperti
internet, dan lain-lain. Untuk sampai ke Kecamatan Semparuk kita
harus menempuh perjalanan selama 7 jam dengan menaiki bus dari Ibu kota
Pontianak. Sedangkan untuk sampai ke Dusun Sepinggan Gelik dari daerah
kecamatan memerlukan waktu selama 30
menit dengan melewati jalan darat atau selama 1 jam apabila melewati jalan
sungai.
Kecamatan
Semparuk merupakan daerah dataran rendah yang dikelilingi oleh sungai dan muara. Sebagian besar daerah
kecamatan semparuk adalah lahan pertanian, perkebunan, dan semak samun. Adapun
suku yang terdapat di Kecamatan Semparuk mayoritas adalah Melayu, seangkan suku minoritas adalah
China, dan Dayak. Hampir 85 % masyarakat Kecamatan Semparuk beragama Islam,
sedangkan 15 % beragama Kong hu chu dan Kristen. Pengetahuaan tentang agama
Islam bisa dikatakan sudah maju, dan masyarakat sudah mengamalkan Islam dengan
biak meski belum sepenuhnya.
Pada bulan Mei
2012, Kecamatan Semparuk memiliki jumlah penduduk sekitar 28.028 jiwa dengan
luas daerah 90,15 Km2 . Mayoritas penduduk (70%) adalah petani
dengan kegiatan rutinitas harian mereka adalah menanam padi. Selain padi,
mereka juga menanam hasil pertanian lainnya sebagai usaha sampingan yaitu
sawit, tebu dan jeruk Sambas. Sedangkan selebihnya bekerja sebagai PNS (15%),
pedagang /swasta( 5%), dan nelayan ( 10 % ). Keadaan perekonomian masyarakat
dinilai masih rendah dan belum meningkat dilihat dari masih banyaknya
masyarakat yang tidak mampu dan memiliki pendapatan yang rendah. Keadaan inilah
yang mendorong masyarakat bersikap materialistik dan saling berlomba dalam
meningkatkan taraf hidup mereka.
Ternyata berda’wah di negeri sendiripun tidak kalah sulitnya dengan
berda’wah di daerah pedalaman. Kebingungan mulai menyelimuti hati dan fikiran
penulis setelah seminggu penulis di kampung halaman. Bingung bagaimana caranya
memulai gerak dan mengatur langkah sebagai seorang da’iah. Waktu berlalu begitu
saja sehingga rasa putus asa pun mulai menghampiri. Pada waktu itu tidak ada
lagi tempat mengadu selain Allah, para
asatidz dan orang tua. Namun dengan rahmat Allah SWT, setelah berkonsultasi
dengan para asatidz di Sambas dan Jakarta, jalan-jalan da’wah mulai kelihatan
meski yang penulis lakukan masih sangat kecil jika dibandingkan dengan para
da’i lainya.
Langkah awal
yang penulis tempuh untuk memulai kegiatan da’wah adalah memahami keadaan
social budaya masyarakat, kemudian menganalisa peluang-peluang da’wah yang ada.
Setelah itu mulai membuat perencanaan da’wah. Pada waktu yang sama penulis juga
sering berkonsultasi kepada teman-teman
dan para Asatidz sehingga salah seorang ustadz memberikan penulis modal sekeping papan tulis untuk mulai
bergerak. Alhamdulillah dengan bantuan Allah kemudian dengan modal sekeping papan tulis itulah penulis
akhirnya bisa menggerakkan berbagai kegiatan da’wah di rumah seperti
mengajarkan tulis baca Al-Qur’an, menghafal surah-surah pendek, dan mengajarkan bahasa Arab. Selain itu, pada
hari senin dan jum’at penulis juga mengajar TPA di SD No. 7 yang berdekatan
dengan rumah kediaman penulis. Melalui TPA ini lah kemudian penulis mulai
menyapa para remaja untuk belajar mengaji, dan mengikuti kajian ilmu yang
dilakukan dirumah penulis pada ba’da maghrib setelah mengajar mengaji. Semangat
remaja dalam menuntut ilmu agama tampak sangat tinggi. Hal ini dapat terlihat
dari keingin tahuan mereka tentang agama Islam yang tergambar melalui berbagai
pertanyaan yang mereka ajukan. Alhamdulillah, saat ini anak-anak sudah ada yang
bisa membaca al-Qur’an dan menghafal beberapa surah juz amma.
Setelah tiga
bulan, langkah da’wah penulis lanjutkan dengan mengadakan pengajian remaja pada
setiap pagi ahad. Kegiatan ini diikuti oleh remaja dan anak-anak yang mengikuti
TPA. Meski jumlah pesertanya hanya sekitar 12 orang, namun Alhamdulillah
berjalan cukup baik.
Enam bulan
kemudian, target da’wah ditingkatkan untuk mengabdi kepada masyarakat dengan
mengisi tausiyah singkat pada sore jum’at setiap setelah pengajian di Masjid
Al-Mujahadah Sepinggan Gelik. Rasa takut dan malu adalah halangan utama bagi
penulis. Namun setelah perasaan tersebut dapat terkalahkan, alhamdulullah
penerimaan masyarakat sangat baik. Bahkan penulis pernah diundang untuk mengisi
tausiyah diacara pengajian di desa lain. Subhanallah begitu banyaknya
pertolongan Allah pada hamba yang lemah ini.
Selain itu,
penulis juga melakukan lintas da’wah melalui kegiatan lest prifat. Pada
waktu-waktu tertentu dalam mengajar murid-murid, sebisa mungkin disisipkan
nasehat dan pengetahuan tentang agama Islam dan pengajaran Al-Qur’an.
Adapun diantara
kendala dalam da’wah yang dihadapi penulis hanyalah sulitnya melewati
jalan-jalan untuk datang ketempat-tempat da’wah yang dituju karena jalan umum
yang ada sudah sangat parah kerusakannya, ditambah hujan dan banjir yang
menyebabkan jalan menjadi becek dan berlumpur, sedangkan jika musim panas jalan
menjadi berdebu dan udara menjadi kotor.
Apapun dugaan
dan kepahitan yang dialami penulis sudah cukup terbalas dan terobati dengan
berbagai macam pertolongan dan kasih sayang Allah terhadap penulis. Tiada kata
yang terucap dari lisan penulis melainkan rasa terimakasih dan syukur yang tak
terhingga. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah…
Da’wah memang bukan suatu hal yang mudah, banyak lembah dan duri
yang harus dilalui tetapi sebuah harapan dan kesabaran selalu menjadi benteng
diri untuk meneruskan perjalanan ini. Temajuk News Crew
Sumber: Agustinah, S.Kom.I (Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah Mohammad Natsir)
Posting Komentar